Pilu di Hari ke Dua Agustus.
Bersama kemarahan yang coba dikekangnya, ia berjalan mencari keberadaan perusak janji yang pernah di ikrarkan.
Bersama hentakan sepatunya yang menampar bumi, ia menambah kecepatan langkahnya.
Tak sabar untuk menghamburkan jutaan resah atas ketidakadilan yang diterimanya.
Aku berjalan menyusuri lorong demi lorong.
Membantu wanita itu, Seorang wanita yang hampir bergemuruh atas perampasan kebahagiaan dunianya.
'Aku sungguh tidak terima semua ini, Puni. Lelaki itu semakin membuatku geram', jelas wanita itu kepadaku.
Dari tekanan suaranya, sepertinya wanita itu sungguh luar biasa marah.
Tak dapat lagi ku tebak apa yang akan terjadi.
Namun aku penasaran apa yang akan dilakukannya.
Yang aku tahu wanita itu adalah seorang wanita berbahu baja.
Ia begitu kokoh laksana karang yang diterpa gelombang laut.
Ia tegar meniti puing-puing kehidupan yang telah dihancurkan.
Pintu pertama, terlewati.
Hingga akhirnya pintu kedua kami masuki. Ia menemukan lelaki yang dicarinya sedang duduk santai membaca koran.
Dengan sikap tenang yang ia paksakan, wanita itu tegas menyampaikan maksudnya.
Wanita itu menyerukan tanya kepada lelaki itu, namun tak terdengar balasan.
Ia kembali melemparkan tanya yang membuat resah, namun juga tanpa balasan.
Lelaki itu tetap diam tanpa bicara, seakan tak ada seorangpun di ruangan itu.
Tak ingin mencampuri urusan mereka, aku berdiri dari balik pintu masuk.
Hingga hanya terdengar suara wanita itu yang semakin keras.
'Tuhan, kuatkanlah wanita itu. Ia wanita yang pilu kehidupannya. Ia memiliki luka bathin yang menjalari setiap rongga dadanya. Namun, ia memiliki titipan suci dari Tuhan. Mereka, titipan Tuhan yang memiliki senyuman polos, aku bermohon kepada Sang Penjaga yang kekal.
Air mataku hampir menetes jatuh, wanita itu berhasil mengingatkanku pada Ibuku di Desa sana. Ibu laksana Malaikat tanpa salah bagiku.
Tiba-tiba suara wanita itu semakin menggelora. Menyelimuti ruangan di dalam sana. Suara teriakan dan isakan tangispun terdengar.
'Ya Tuhan, wanita itu kini menangis'.
Ia merintih atas kelakuan lelaki tak bertanggung jawab yang menelantarkannya.
Bukan untuknya, namun demi anak-anaknya, ia menuntut tanggung jawab yang kini dirampas habis oleh si lelaki.
Tak tahan mendengar suara wanita itu, aku kembali memasuki ruangan.
Terlihat air mata mengucur deras di pipi wanita itu. Masih merintih dengan isakan tangisnya.
'Jangan hiraukan wanita itu, dia wanita yang gila, ayo kita keluar, seru lelaki itu ketika menyadari orang-orang di sekitarnya. Lelaki tersebut lantas segera keluar dari ruangan itu, seakan tak ada dosa yang ia lakukan.
Wanita itu tak ingin membiarkan lelaki itu pergi begitu saja. Ia semakin naik pitam, amarahnya semakin membara bersama air mata pilunya.
Ia mengejar lelaki itu dengan menyeruakkan hujatan benci. Lelaki itu melarikan diri dengan sepeda motornya.
Aku bersama beberapa orang yang melihat peristiwa itu, menguatkannya. Namun ia masih menangis, merintih atas kesakitan, atas luka yang ia rasakan.
'Biarkan saja dia pergi. Laki-laki itu akan tetap menghindar bila dihampiri. Biarkan saja dia pergi! Kita proses semua ini dengan hukum. Kita hubungi pengadilan dan kepolisian. Semuanya dapat kita proses, aku memberi semangat kepada wanita itu.
Wanita malang yang terlalu baik, menurutku.
Semoga engkau diberi kesabaran dan kelak mendapatkan kebahagiaan yang tak tertandingi.
Tuhan maha melihat, Maha Penyang.
*02/08/17
Picture Location: Mesjid Qimalaha, Kota Maba, Halmahera Timur
Komentar